Tafsir quran download pdf
It is a sunni tafsir. It explains Quranic verses with Hadith and sayings of the sahaba. Tafsir Ibn Kathir Part-1,2,3. Tafsir Ibn Kathir Part-4,5,6,7. Tafsir Ibn Kathir Part-8,9,10, Tafsir Al Jalalayn is a classical Sunni tafsir of the Qur'an. It means "Tafsir of the two Jalals". It was written by Qadi Thanaullah Panipati. This tafsir is very simple and clear. It is useful to get brief explanations of Qur'anic verses. It consists of eight volumes. Yusuf Joseph. Al-Ra'd The Thunder.
Ibrahim Abraham. Al-Hijr The Rocky Tract. Al-Nahl Bees. Al-Isra' The Night Journey. Al-Kahf The Cave. Maryam Mary. Ta Ha. Al Anbiya' The Prophets. Al Hajj The Pilgrimage. Al Mu'minun The Believers. Al Nur The Light. Al Furqan The Criterion.
Al Shu'ra' The Poets. Al Naml The Ants. Al Qasas The Narrations. Al 'Ankbut The Spider. Al Rum The Romans. Al Sajdah The Prostration. Al Ahzab The Confederates. Saba' Sheba. Fatir The Originator of Creation. Images Donate icon An illustration of a heart shape Donate Ellipses icon An illustration of text ellipses.
EMBED for wordpress. Want more? Advanced embedding details, examples, and help! His Major Works Mufti Muhammad Shafi has written many beneficial works whose number surpasses , most of them in the Urdu language, on the sciences of Quranic exegesis, Hadith, Jurisprudence, Spirituality, Literature, Theology, Social Etiquettes and others.
Some of the important books are listed here: 1. Jawahir al-Fiqh 3. Khatm al-Nubuwwah 4. Seerat-i-Khatam al-Anbiya 5. Alat Jadidah ke Sharie Ahkam 6. Bimah aur insurance ki Sharie Hathiyat 8. Ahkam al-Qamar Tasweer ke Sharie Ahkam Imdad al-Muftin Ahkam al-Quran Al-Tasrih bima Tawatur fi Nuzul al-Masih Hadiyyat al-Mahdiyyin fi Ayat Khatam al-Nabiyyin 2 3. He faced great difficulties in this regard and resisted by them. However, later on it was proved that this translation played an important role in attracting the masses towards understanding of the Quran.
These basic efforts provided the opportunity understand the meanings of the Holy Book in their own language and therefore other intellectuals were encouraged to not only simply translate the Holy Book but they wrote detailed commentary of the Holy Book in Arabic, Persian and Urdu languages as well.
Background of Maarif al-Quran This Tafsir was first published in Regarding the background of the writing of Maariful Quran, Mufti Muhammad Shafi wrote in his forwarding note that he never thought himself able to write Tafsir of the Quran being very difficult and technical job.
It was broadcasted every Friday morning on the network of Radio Pakistan. This series of lectures continued for ten years up to the month of June whereby the new authorities stopped this programme due to change in the policy of the Radio Pakistan. This series of lectures contained a detailed commentary on selected verses from the beginning of the Holy Quran up to the Surah Ibrahim.
This weekly programme of Radio Pakistan was warmly welcomed by the Muslims throughout the world and used to be listened to by thousands of Muslims, not only in Pakistan and India but also in Western and African countries. After the programme was discontinued, requests were started pouring from all over the world to transfer these series of lectures in a form of book and to complete the remaining part of the Quran in the shape of a regular commentary. There were also numerous submissions to Maulana by the listeners for developing the Tafsir in book form.
However the presence of Quranic exegesis which are in abundance for intellectuals cannot benefit the common people. Those Quranic exegeses which are present can not satisfy the intellectual class. Now it was highly important to develop such an exegesis of the Quran which can satisfy the scholars and common people. In Shawwal the project was restarted while the author suffered from a number of diseases which made him restricted to his bed.
It was during this ailment that he again started this work while on bed and completed commentary of Surah al-Baqarah in the same condition. Hasan Al-Bashri 7. Qatadah bin Diamah Sadusi Mereka semua adalah para penafsir yang masyhur dari kalangan Tabi'in. Ketiga madrasah tersebut menjadi tempat di mana mereka semua menyandarkan pembelajaran mereka.
Atas semua ini, semoga Allah Swt meridhai mereka semua dan menjadikan surga sebagai tempat tinggal mereka. Singkatnya bisa dinyatakan begini: Imam Ahmad r. Pertama riwayat yang menerima tafsir tersebut, dan kedua riwayat yang menolak atau tidak menerimanya. Alasannya adalah karena para Tabi'in tidak pernah mendengarkan perkataan dan kabar langsung dari Rasulullah Saw. Oleh sebab itu, tidak mungkin para Tabi'in bisa mengeluarkan penafsiran atau penjelasan otentik seperti yang ada dalam tafsir dari para Sahabat.
Para Sahabat mampu memberikan penafsiran secara otentik karena memang mereka menyimak dan merekam secara langsung dari Rasulullah Saw. Jadi, para ulama mengatakan, tingkat otentisitas penafsiran Tabi'in tidak sama dengan tingkat otentisitas penafsiran Sahabat: diriwayatkan oleh Abu Hanifah r. Mereka meriwayatkan dari para Tabi'in dan tetap menyandarkan pada perkataan mereka.
Namun pandangan yang cenderung diterima terkait persoalan ini adalah: bahwa perkataan Tabi'in dalam tafsir dapat diterima kecuali untuk persoalan-persoalan yang sudah 34 Tahdzib al-Tahdzib, Juz 10, hal. Selain itu perkataan Tabi'in bisa dipakai dan dijadikan acuan dengan syarat tidak ada keraguan atas keotentikannya, sehingga apabila kita ragu-ragu dan curiga bahwa perkataan itu diambil dari ahli kitab, maka kita pun juga harus meninggalkan perkataan itu dan tidak lagi memakainya.
Keistimewaan Tafsir Pada Masa Tabi'in Tafsir yang dikembangkan pada masa Tabi'in ini memiliki beberapa keistimewaan, di antaranya: Pertama, banyak kisah-kisah israiliyat dan nasraniyat yang masuk dalam tafsir yang dikembangkan pada masa Tabi'in ini. Sebagian Tabi'in bersikap ramah dan akomodatif terhadap israiliyat dan nasriyat, sehingga mereka banyak mengadopsi keduanya, terlepas dari benar tidaknya kisah tersebut.
Tidak diragukan lagi bahwa sumber ini telah dipakai dalam penafsiran mereka, dan juga oleh para penafsir setelah mereka. Beginilah proses talaqqi dan riwayat itu berlangsung. Ketiga, banyak tafsir yang dikembangkan para penafsir pada masa Tabi'in ini yang dipengaruhi oleh berbagai madzhab keagamaan yang muncul pada masa itu.
Pada fase ini belum ada kodifikasi tafsir yang sistematis. Tidak ada metode bagi tafsir pada fase pertama dan kedua ini kecuali dengan metode periwayatan, sebab metode pembukuan atau kodifikasi, dan termasuk di antaranya kodifikasi ilmu tafsir, baru dimulai setelah masa Tabi'in, fase yang kedua. Setelah fase Tabi'in, tibalah fase yang ketiga, yaitu fase kodifikasi keilmuan, dan itulah awal mula tahap yang kedua dari perkembangan kodifikasi.
Tahap ini dimulai dengan kodifikasi terhadap hadits Nabi. Waktu itu, tafsir masih menjadi salah satu bab dari bab-bab yang ada dalam kodifikasi hadits dan belum menjadi bab yang berdiri sendiri. Pada waktu itu juga belum ada kumpulan hadits yang secara khusus menafsirkan al-Quran dengan tertib dari surat ke surat, dari ayat ke ayat, dari awal ayat hingga akhir ayat.
Yang baru ada pada saat itu adalah bahwa para ulama berkeliling dari satu kota ke kota yang lain dalam rangka mengumpulkan hadits-hadits Nabi. Inilah kodifikasi tafsir pertama melalui hadits yang disandarkan pada Nabi, para Sahabat, dan para Tabi'in. Upaya ini dilakukan oleh sejumlah ulama di antaranya: Ibnu Majah, yang wafat H, dan Ibnu Jarir at-Tabari, yang wafat pada H, dan lain sebagainya.
Kita akan kembali membahas hal ini nanti, khususnya menyangkut perbedaan antara riwayat riwayah dan kodifikasi tadwin. Oleh karena itu, muncullah beberapa permasalahan dalam tafsir di tahap ini, yaitu bercampurnya antara riwayat pendapat yang sahih dan yang tidak sahih.
Tahap kelima dari perkembangan kodifikasi tafsir adalah tahap yang paling luas dan paling panjang, membentang sejak zaman bani Abbasiyah hingga zaman sekarang ini. Selain itu, banyak buku-buku filsafat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dengan demikian, seluruh ilmu pengetahuan yang dikembangkan ini kemudian berjumpa dan bercampur menjadi satu di dalam tafsir. Para ahli dalam bidang ini di antaranya Zujaj, dan al-Wahidi dengan tafsirnya al-Basith, serta Abu Hayyan dengan tafsirnya al-Bahru al-Muhith.
Para ahli di bidang sejarah tarikh memberikan perhatian pada kisah-kisah atau cerita-cerita sejarah. Tafsir al-Isyari 5. Para Sahabat mempelajari penjelasan itu langsung dari beliau, kemudian mereka saling meriwayatkan penjelasan tersebut satu sama lain, terutama meriwayatkannya kepada generasi Tabi'in yang masih mereka jumpai.
Hal seperti ini tidak dipungkiri adanya. Hal seperti ini juga tidak dipungkiri adanya. Tetapi otentisitas dan validitas tafsir ini masih dapat dipertahankan secara utuh hingga pada akhir zaman Sahabat. Adapun setelah masa Sahabat, sudah mulai muncul sebagian dari kalangan perawi yang memasukkan unsur-unsur yang sebenarnya bukan bagian dari tafsir. Tendensinya adalah hanya wujud kesembronoan mereka atau mungkin sebagai dukungan dan pertolongan untuk golongan madzhab tertentu saja.
Nanti akan dibahas lebih lanjut secara lebih detail. Maka sejak saat itu, tafsir mulai menjadi cabang ilmu yang terkodifikasi. Proses yang terjadi dalam pengembangan tafsir sehingga menjadi bagian dari cabang ilmu yang terkodifikasi itu dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Cikal bakal kodifikasi tafsir sesungguhnya sudah muncul semenjak tafsir menjadi bagian dari susunan bab dalam hadits.
Saat itu, tafsir menjadi salah satu bab dari bab-bab yang beragam dalam hadits. Di dalam bab tafsir tersebut, para perawi hadits meriwayatkan pernyataan-pernyataan atsar seputar penafsiran yang berasal dari Nabi, para Sahabat, dan para Tabi'in.
Para penulis berupaya sebisa mungkin melakukan verifikasi terhadap riwayat-riwayat yang sahih. Dan setelah itu, tafsir mulai memisahkan diri dari hadits.
Pengumpulan riwayat secara mandiri mulai dilakukan, dan naskah tafsir yang diketahui pertama kali dibuat adalah yang ditulis dan diriwayatkan oleh Ali bin Thalhah dari Ibnu Abbas. Dan di antara ensiklopedia dan kumpulan ini salah satunya adalah tafsir Ibnu Jarir at-Tabari, yang meninggal pada tahun H.
Kemudian setelah itu mulailah kodifikasi ensiklopedia- ensiklopedia tafsir yang lain. Namun sayangnya, para penulisnya tidak menjamin validitas dan kesahihan dari apa yang mereka riwayatkan. Mereka tidak menyebutkan sanad dalam tafsir mereka. Mereka asal nukil dan tidak menjelaskan secara jelas sumber yang menjadi rujukan penafsiran.